eDNA Breakthrough: Deteksi O. h. quadrasi dan S. japonicum pada Schistosomiasis (Demam Keong) Menggunakan MIC-qPCR
Schistosomiasis atau yang dikenal sebagai Demam Keong merupakan salah satu Neglected Tropical Diseases (NTD) bersifat zoonosis yang masih menjadi tantangan kesehatan masyarakat. Penyakit ini disebabkan oleh cacing parasit Schistosoma japonicum dan ditularkan melalui keong amfibi Oncomelania hupensis quadrasi sebagai inang perantara.
Di Indonesia, Sulawesi Tengah tercatat sebagai wilayah endemik Schistosomiasis, terutama di kawasan Lembah Napu, Besoa, dan Bada di Kabupaten Poso, serta wilayah Lindu di Kabupaten Sigi. Meski telah didukung program Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) oleh WHO sejak 2019, prevalensi Schistosomiasis justru menunjukkan tren peningkatan hingga mencapai 1,45% pada tahun 2022.
Keterbatasan Metode Deteksi Tradisional
Selama ini, surveilans lingkungan Schistosomiasis mengandalkan metode malakologi klasik, yaitu pendekatan time-based sampling yang berfokus pada pencarian dan pengumpulan langsung keong inang perantara, khususnya O. h. lindoensis. Namun, metode ini dinilai kurang memadai.
Sifat keong yang hidup berkelompok, berukuran kecil, dan sulit ditemukan sering menyebabkan ketidakakuratan dalam mengidentifikasi area transmisi. Selain itu, metode malakologi memiliki positivity rate yang rendah dan kerap gagal mendeteksi keberadaan S. japonicum di sejumlah lokasi.
eDNA, Terobosan dalam Surveilans Lingkungan
Sebagai alternatif, pendekatan environmental DNA (eDNA) berbasis tanah kini muncul sebagai terobosan signifikan dalam deteksi lingkungan Schistosomiasis. Metode ini bekerja dengan menganalisis jejak DNA yang ditinggalkan oleh keong O. h. quadrasi dan parasit S. japonicum langsung dari sampel tanah, tanpa perlu menemukan organisme secara fisik.
Baca juga:
Model In Vitro dari CTC Ungkap Mekanisme Resistensi Kanker Payudara
Keunggulan metode ini didukung oleh karakteristik keong O. h. quadrasi yang bersifat amfibi dan lebih banyak menghabiskan waktu di tanah lembap. Selain itu, tanah memiliki kemampuan mempertahankan eDNA dalam jangka waktu lebih lama. Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa sistem eDNA memiliki tingkat deteksi yang jauh lebih tinggi, mampu mengidentifikasi mikrohabitat keong meskipun tidak ditemukan keong secara visual, serta berhasil mendeteksi S. japonicum di lokasi yang sepenuhnya terlewat oleh metode malakologi.
MIC-qPCR untuk Deteksi Presisi Tinggi
Untuk mencapai sensitivitas tinggi dalam mendeteksi O. h. quadrasi dan S. japonicum, analisis eDNA dilakukan menggunakan metode Quantitative Real-Time PCR (qPCR) dengan target gen spesifik MT-CO1 dari kedua organisme.

MIC-qPCR by Bio Molecular System
Teknologi ini didukung oleh Magnetic Induction Cycler (MIC), sebuah thermocycler portabel yang memungkinkan proses qPCR berlangsung cepat dan andal. Dengan desain yang ringkas, MIC sangat sesuai untuk kebutuhan surveilans lapangan.
Secara keseluruhan, integrasi sistem eDNA dengan teknologi MIC-qPCR menawarkan pendekatan deteksi yang lebih sensitif, terukur, dan efisien, sehingga berpotensi memperkuat strategi intervensi yang lebih tepat sasaran dalam upaya eliminasi Schistosomiasis di Indonesia.
Advisains dapat memfasilitasi diskusi lebih lanjut mengenai produk qPCR. Sampaikan Kebutuhan Riset Anda Tim advisor spesialis kami sangat antusias mendukung keberhasilan riset dan aplikasi rutin Anda. Maka, jangan ragu untuk chat sekarang (+62 817 9154 607/info@advisains.id).
Referensi:
https://www.who.int/indonesia/id/news/detail/25-07-2023-overcoming-challenges-to-eliminate-schistosomiasis-in-central-sulawesihttps://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/41168821/
https://link.springer.com/rwe/10.1007/978-3-662-43978-4_2824




